Selasa, 26 Juli 2016

Kita Semua Pemimpin

 - Heroik Leadership ( kita semua adalah pemimpin ) -

Seringkali aku melihat di televisi berita yg mengambil judul Indonesia krisis pemimpin. Hal tersebut mengusikku untuk bertanya dan mencari tau lebih jauh apa yang dimaksud head line news tersebut. Kalau dipikir pikir disetiap sendi kehidupan bertaburan pemimpin. Di kelas ada ketua kelas, di OSIS ada ketua ,di semut ada ketua semut, di sekolah ada Kepala Sekolah, di lingkungan kita ada pak RT, RW, pamong lingkungan, Pastur Paroki, camat, walikota, bupati, gubernur, sampai Presiden. Semua ada, lantas mengapa headline news tersebut membuat berita seperti itu. Apa maksud kepemimpinan disini ?

#. Pengalaman nonton saung Mang Udjo di Bandung
Pada study banding kemarin, saya dan guru Sedes berkesempatan menonton pertunjukan angklung mang Udjo yang terkenal itu. Pertunjukan yang sudah sering keluar masuk tv dan sudah mendunia. Iya tentu saya terpukau dengan apa yg disajikan disana. Dalam pertunjukan tersebut salah satu bagiannya adalah main angklung bersama. Setiap pengunjung diberi satu angklung dengan nada berbeda dan dipimpin oleh seorang dirigen yg katanya anak dari mang Udjo. Saya termasuk penonton yang mendapatkan satu angklung waktu itu saya mendapat nada mi /3. Anak mang Udjo mulai mengarahkan kami dan meminta untuk membunyikan angklung mulai dari 1,2, 3 dst dengan kode tangan, dan telah disepakati bersama. Setelah itu anak mang Udjo mulai mengtes dengan gerakan tangan yang acak tidak urut 1,2,3. Tentu saya harus fokus dan memperhatikan tangan / aba aba darinya. Dan pada akhirnya kita semua berhasil  main angklung dengan berbagai lagu bersama yang  di komandoi oleh anak mang Udjo.
Pengalaman tersebut membuat saya merefleksikan banyak hal. Yang pertama adalah kepiawaian anak mang udjo memimpin kami dengan latar belakang berbeda, suku agama , ras, negara dll , dengan keterampilan yang mungkin bagi saya nol dalam bermain angklung. Bagaimana dengan keunikan kami masing masing, nada angklung yang berbeda  berhasil dibuat orkestrasi lagu yang indah oleh komando dari anak mang Udjo. Sangat luar biasa, hal yang beraneka ragam di selaraskan menjadi sebuah nyanyian angklung yang enak di dengar. Dalam keseharaian kita , tentu kita menghadapi kondisi yang hampir mirip seperti itu, berbeda latar belakang, kepentingan , watak dan lain lain. Hal tersebut seringkali menjadi tembok besar buat kita untuk melakukan sesuatu. Namun jika kita belajar dari pengalaman tersebut bagaaiman kepemimpinan anak mang Udjo sangat berpengaruh disini. Bagaiman beliau mengorkestrasi perbedaan menyelaraskannya sehigga menjadi lagu yang indah. Yang kedua , apa jadinya jika setiap dari penonton tersebut ber ego main sendiri sendiri angklungnya, tentu tidak akan menjadi nyanyian yang indah. Lalu apa yang menyatukan kami semua disana ? Tentu adalah tujuannya / VISINYA. yaitu bermain bersama angklung menyanyikan lagu. Visi itu yang membuat saya dan penonton disana untuk setia dan mengikuti komando dari anak mang Udjo. Maka , penting bagi organisasi atau perkumpulan manapun untuk merumuskan visi bersama dan berjuang bersama mewujudkan visi tersebut. Sebagai seorang pemimpin visi menjadi penting , karena visi itu yang akan mengarahkan kita pada tujuan bersama ( pemimpin yang visioner ).

#. Memimpin dengan hati belajar dari dirigen koor
Hari minggu , hari pentakosta, hari turunya Roh kudus atas para rasul, roh yang akan menggerakkan setiap langkah para rasul dalam mewartakan kabar gembira. Di hari minggu ini, saya bersama kedua teman pergi ke gereja gedangan. Awal masuk ke gereja semua nampak biasa saja. Sampailah tiba misa dimulai dengan lagu pembukaan. Pada saat itu pandanganku tertuju kepada kelompok koor yg terdiri dari bapak bapak paruh baya yang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang yang dipimpin seorang dirigen ,sebut saja pak senyum gigi ompong, karena ku tak tahu namanya. Selama lagu pembukaan berkumandang, mataku tertuju pada sang dirigen, setiap gerak gerik dan mimiknya tak luput dari mataku. Menarik perhatianku sungguh bapak ini, ratusan kali ku masuk gereja dan mendapati berbagai macam dirigen koor, baru kali ini ku merasakan dirigen koor yang luar biasa. Mungkin terkesan lebay, namun sungguh hal ini yang kurasakan. Aku merasakan betapa bapak itu melakukan tanggung jawabnya sebagai dirigen koor dengan sepenuh hati. Ku melihat semangat yang membara dari dirinya, meski usia yang tak muda bapak ini dengan lincah mendirigen i koor dan umat. Berkali kali dia harus berbalik badan memimpin koor dan umat bernyanyi, sangat energik. Mimik wajahnya yang membuatku merasakan untuk mau terlibat bernyanyi. Sesekali dia tampak tersenyum meski gigi depannya sudah tak ada. Aku sungguh merasa diajak olehnya, hatiku bergetar. Entah kenapa semangat yang dimiliki bapak tadi menular, dan akupun bernyanyi lantang memuji Tuhan sampai misa selesai. Hal yang tidak terjadi biasanya, aku terkadang malas bernyanyi. Ketika misa selesai, dua temanku ternyata merasakan hal yang sama denganku. Dari pengalaman tersebut aku merenungkan satu hal, apa yang dimiliki bapak tadi adalah hati. Bagaimana bapak tadi menjiwai perannya sebagai dirigen (pemimpin lagu) , hati dan jiwa tersebut yang menggerakkan seluruh tubuhnya sehingga sangat energik meski usia tak lagi muda. Hati dan jiwanya lah yang membuat sesekali senyum tersungging darinya. Hati dan jiwanyalah yang mampu menular kepada kami umat untuk mau mengikuti ajakannya untuk bernyanyi. Aku tak mengenalnya, dan aku bukan pula bawahannya. Tapi aku mau melakukan ajakannya. Dia adalah seorang pemimpin, meski dia tak punya organisasi formal namun dia mampu mengajak kami umat untuk bernyanyi memuji Tuhan. Ya, kita semua adalah pemimpin , meski kita tak punya organisasi, lebih lebih berorganisasi.
Memimpin dengan jiwa dan hati, bapak tersebut tidak memiliki jabatan strukturan, bahkan tidak punya wewenang untuk menyuruh atau menugaskan. Yang dia lakukan adalah mengajak dengan sepenuh hati. Melalui hati dan jiwanya dia mampu membuat kami mengikutinya. Teladannya yang menggerakkan kami untuk bernyanyi.
Pemimpin bukan apa yang dijabatnya, atau organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin adalah tentang apa yang dia lakukan, dan apa yang dia lakukan mampu untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan perubahan yang lebih baik.

Minggu 15 mei 2016 di hari pentakosta.
-- Wegig Sulistya --

Minggu, 24 Juli 2016

HARI PERTAMA MASUK SEKOLAH....


Hari hari ini sedang ramai dibicarakan  mengenai hari pertama masuk sekolah. Sekolah yang katanya merupakan tempat seseorang memperoleh pendidikan. Sekolah menjadi tempat seluruh anak negeri memperoleh pendidikan yang formal. lalu pendidikan yang tidak formal itu dimana tempatnya. Keluarga yang katanya merupakan unsur pertama dan utama  seseorang memperoleh pendidikan. Orang tua adalah gurunya.
Pada faktanya, menurut data statistik entah darimana, atau menurut trend nya sekarang, karena kesibukan orang tua memenuhi kebutuhan yang katanya semakin banyak dan semakain susah dicukupi, emm kebutuhan atau menuruti hawa nafsu...ideologi kudu sugih, ahh saya ga tahu. Tapi yang jelas menurut data , tren orang tua sekarang  mendidik anak tak lagi menjadi tanggung jawabnya, ya karena orang tua udah bayar mahal kepada si empunya pendidikan yang katanya bernama sekolah. Ya aku udah bayar urusan didik mendidik ya kamu yang ngurusin sekarang. Hmmm dikira pendidikan tu kayak jual beli aja, ahh anak anak tentu bukan barang dan sekolah bukan penitipan barang, ehh anak.
Oleh karena itu negara yang diwakili  pemerintah yang  menanggung alias yang bertanggung jawab , terkubgkung komitmen dalam UUD untuk mencerdaskan anak bangsa, bikinlah sebuah regulasi salah satu keterlibatan orang tua dalam mendidik anak adalah dengan mengantarkan anaknya kesekolah , wuiih kayak jaman aku TK , liat emaku ga ada di jendela kelas aku pun nangis hahaayy. Harapannya sih itu bentuk kepedulian orang tua terhadap pendidikan anaknya. Baik sih iya, ya kemudian harapan selanjutnya hal itu tak sekedar kulitnya saja, formalitas dan bersifat ceremonial, ahh kog negatif thinking....Ya boleh boleh saja negatif, wobg faktanya ya begitu. Apa sih masalah mendasarnya.. ya sebenarnya adalah relasi afeksi, aku menyebutnya. Ditengah dunia bergelimang teknologi , bentuk relasi manusia mulai berubah, dari bahasa tubuh mimik, berganti dalam bahasa gambar dan emoticon dalam  media sosial ataupun aplikasi aplikasi chating. Sebagai contoh orang sekarang merasa cukup memberikan like pada status orang yang kesusahan. Padahal yang dibutuhkan adalah kehadiran . Lhoo salahnya bikin status ealah ngeles. Hmm   cukup dengan chat di line atau wa orang bisa konek, curhat dan lain lain. Anehnya juga keluarga sedang kumpul tapi satu sama lain sibuk dengan gadget nya masing masih. ahhh makin aneh, manusia semakin sepi, relasi semakin dangkal dan aneh saja. orang bisa berhubungan jarak jauh mencetitakan keseharian, ketika ketemu sudah habis apa yang akan dibicarakan. Aneh, dan seperti ada missing nya yaaa...
Seperti pohon kalau kita cuman motong rantingnya pasti masih akan tumbuh. Tapi bila kita ambil akarnya tentu hal itu tak kan tumbuh lagi.
Mustinya itu yang menjadi fokus, relasi, mengembalikan relasi kemanusiaan antar manusia yang sungguh memanusiakan...
mustinya itu yang digarap, ya semoga dengan mengantar tersebut menjadi  pelopor kembalinya relasi yang memanusiakan antara orang tua dan anak, sukur sukur juga gurunya di sekolah juga. Karena pendidikan itu relasi  yang membutuhkan keterlibatan hati...bukan suatu proses jual beli...
Tuhan mampukan aku untuk terus memperbaiki diri, sehingga ku layak disebut sebagai guru...
18  Juli 2016 di suatu sore yang horeee..


HARI KARTINI...
 
Hari kartini dirayakan di seluruh pelosok negeri. Banyak cara untuk merayakannya, mulai dari anak sekolah yang melakukan upacara , memakai pakaian adat, instansi pemerintah yang mewajibkan pegawai wanita menggunakan pakaian yanb ke kartini kartinian. Semua itu dilakukan agar hari ini berbeda , karena hari ini hari kartini pejuang emansipasi wanita. Namun kadang kita terjebak kepada hal hal yang bersifat ceremonial dan atribut. Kita seringkali melupakan esensi. Mungkin apa yang diperjuangkan kartini hari ini bisa dinikmati seluruh wanita di pelosok negeri, mungkin juga tidak. Yang tampak ya sekarang sudah banyak para wanita yang menjadi pemimpin daerah, aktif di gereja dan lain sebagainya. Ya wanita sekarang sudah teremansipasi memiliki hak yang sama seperti mitrannya lelaki bahkan mungkin ada yang lebih.
Apa yang ada di benak wanita saat ini , ketika sekarang sudah teremansipasi oleh karena perjuangan kartini.

tergelitik aku akan  tweet sudjiwotedjo, bahwa kejayaan negeri terletak ditangan para wanitanya. kog bisa,,? Apa perannya .? Se strategiz itukah ?
Tergelitik pula dengan kalimat dibalik pria hebat disitu pasti ada wanita hebat disampingnya ? Apa benar
Konon katanya pak Harto bisa hebat karena istrinya ibu Tien. Sepeninggal ibu negara pak Harto seperti kehilangan nyawa. Benarkah itu ?
Tergelitik pula ketika melihat televisi kasus korupsi dilakukan oleh pejabat pria, pasti disitu ada wanitanya. Kita juga pernah disuguhi para artis wanita yang untuk dapat berkencan 3 jam saja tarifnya ratusan juta. Dan sinyalir para pejabatlah yang menjadi pelanggan setianya. Ya tidak heran jika para pejabat harus korupsi untuk dapat berkencan dengan mereka. Apakah seperti itu yang disebut 4 emansipasi ?. Aku tetap tak mengerti...

Dilain sisi banyak juga para wanita hebat yang menginspirasi negeri, tidak hanya dandan cantik namjn sungguh kecantikan terpancar lewat karya dan hatinya. Bunda theresa wanita yang setia bagi kaum papa, bu risma sang walikota yang memanusiakan manusia di kawasan doli dan masih banyak lagi wanita wanita yang sangat menginspirasi.
semua ini kutulis dengam hati dan pikiran lelaki. Aku gatau cara berpikir dan hati wanita.
Yang jelas hari ini hari kartini , marilah kita coba memaknai esensi tak sekedar acara klise yang ceremonial. Untuk para wanita , ku berharap cari dan maknai hari ini untuk memahami arti emansipasi dan semakin menyadari peran yang diemban sebagai wanita sekaligus ibu untuk hidup di dunia ini.

21 april 2016 AMDG wegig

INSIDEN BENDERA DI SEKOLAHKU

Mungkin bagi kita yang pernah duduk di bangku sekolah dan mendapatkan pelajaran sejarah akan ingat sebuah peristiwa insiden bendera di hotel Yamato Surabaya. Dalam peristiwa sejarah tersebut dikisahkan keheroikan para pahlawan jaman itu yang dengan gagah berani menurunkan bendera Belanda kemudian warna biru yang disobek dan dikibarkanlah bendera kebanggaan kita Merah Putih.
Hmmm…tapi yang ingin kuceritakan adalah cerita insiden bendera yang terjadi di Sekolahku. Tanggal 2 mei merupakan hari yang khusus digunakan untuk memperingati hari Pendidikan Nasional. Kami sebagai bagian dari pendidikan, memperingatinya dengan cara melakukan upacara bendera. Dalam setiap upacara bendera tentu ada satu bagian khusus yaitu acara pengibaran bendera Sang Saka  Merah Putih. Ketika acara pengibaran bendera dibacakan oleh protocol acara sesaat kemudian tampaklah para siswa-siswi petugas pengibar bendera dengan langkah tegap dada membusung tanda kebanggaan berbaris dengan segala kepercayaan diri karena sudah berlatih berkali-kali. Tibalah saat dimana bendera ditali dan dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya. Ketika hendak dikibarkan terjadi sebuah insiden yang tak terduga dimana tali yang mengikat bendera lepas dan tertarik sampai keujung tiang yang membuat bendera tidak mungkin untuk dikibarkan. Tanpak seluruh pandang peserta upacara menuju ke insiden tersebut. Bapak ibu guru berlarian mencoba untuk membantu mengatasi insiden tersebut. Apakah akan merobohkan tiang ? Tanya salah satu guru, tentu akan sulit dan butuh waktu lama. Akhirnya diputuskan bahwa petugas bendera merentangkan bendera sampai upacara berakhir sebagai tanda hormat kami kepada Sang Saka Merah Putih.
Upacara selesai, hal yang menarik terjadi saat upacara selesai. Para petugas pengibar bendera menangis tersedu – sedu. Apa yang membuat mereka menangis ? Tanyaku dalam hati, setelah kukonfirmasi ternyata mereka menangis karena kecewa tidak melaksanakan tugas dengan baik. Ada rasa kecewa mengapa harus terjadi insiden tersebut, “Bukankah kita sudah berlatih sungguh – sungguh”, Tapi mengapa itu masih terjadi ?. Yaah sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan harapan tentu akan menumbuhkan rasa kekecewaan. Teman – teman dan para guru berusaha untuk menghibur para petugas bendera tersebut. Dan salah satunya menyatakan bahwa itu keren lhoo, sangat heroik merentangkan bendera sampai upacara bendera berakhir tentu tidak mudah. Pasti itu capek dan itu demi menghormati Bendera merah putih. Hmmm pahlawan masa kini.
Salah satu program TV yang sedang naik daun adalah kisah Mahabaratha. Dalam suatu episode kisah Mahabaratha dikisahkan para pangeran dari Hastinapura baik pandawa maupun kurawa sedang belajar dalam sebuah padepokan namanya Gurukul dengan gurunya bernama guru Druna/Durna. Dalam salah satu episode tersebut dikisahkan pangeran Duryudana  dan pangeran Bima berkelahi di pinggir sebuah rawa. Akibat perkelahian tersebut mengakibatkan Bima tercebur kedalam lumpur dan terancam tenggelam. Ketika itu bima berteriak minta tolong kepada saudara – saudaranya pandawa. Para pandwa kebingungan bagaimana mengahadapi masalah tersebut. Datanglah murid lain dan guru Durna ke rawa tersebut. Guru durna tidak segera menolong Bima, Guru tersebut berkata  kepada pandawa, demikian katanya : “salah satu bagian dari pendidikan adalah belajar bagaimana mengatasi situasi – situasi yang tak terduga”. Maka beliau sengaja tidak langsung menolong Bima. Kata – kata guru tersebut menantang pikiran Arjuna  saudara bima untuk memecahkan persoalan tersebut. Arjuna mengambil panah, kemudian memanah salah satu ranting pohon yang berada di dekat rawa. Ranting itu tumbang dan digunakanlah untuk menolong Bima.
Dua buah kisah yang berbeda setting namun memberikan pembelajaran hidup yang sama. Belajar di sekolah bukan hanya belajar tentang teori dan ilmu pengetahuan , rumus yang nantinya digunakan untuk mengerjakan soal ulangan atau ujian. Akan tetapi lebih dalam dari itu, belajar itu tentang berpikir dan menyelesaiakan masalah belajar menghadapi kekecewaan dan bangkit untuk lebih baik lagi.Belajar menghadapi masalah yang tak terduga, bagaimana kita menghadapi tantangan jaman yang semakin kompleks. Dan akhirnya belajar itu untuk hidup, hidup adalah belajar tanpa henti.

Non Scholae Sed Vitae Discimus.